Yang Tertinggal di Ingatan

Hairtifailama
2 min readSep 18, 2020

--

Bagi sebagian besar manusia berusia dua puluhan, hari demi hari mungkin dilewati kebingungan. Sebagian dari mereka mungkin pernah menangis karena bingung. Sebagai manusia yang hidup di zaman serba cepat, ketidakpastian bisa jadi sangat menyiksa. Di usia ini, sebagian dari kita sedang menerka-nerka seperti apa ritme kehidupan. Masa depan memang menjadi teka teki menarik untuk kita cari tahu. Ia bisa membuat kita begitu khawatir, bingung, dan takut sehinga muncul pertanyaan sederhana yang menyebalkan karena seringkali membuat termenung di pukul 2 pagi

“Apakah masa depan memang jawaban dari yang kita kerjakan hari ini, atau ia akan berujung menjadi sebuah kesia-siaan?”

“Apakah jika saya bekerja keras hari ini sepuluh tahun lagi saya bisa sedikit berleha?”

“Hidup ini untuk apa sih? Kenapa saya harus kerja sampai malam?”

“Apakah saya harus merencanakan masa depan supaya hidup berjalan mulus?”

Awalnya sebagian dari kita mencoba merencanakan masa depan karena merasa ialah satu-satunya cara untuk kabur dari siksaan akan ketidakpastian itu. Menonton ratusan video tentang “Nasihat sebelum usia tiga puluh” atau membaca “Tips sukses di usia muda” membuat kita berharap bahwa kegagalan mungkin bisa kita hindari jika semua direncanakan. Tapi bagaimana bila ternyata hidup jauh melemparmu dalam kepedihan? Serinci apapun rencana yang kau coba buat, pada akhirnya itu hanya sebuah kepura-puraan. Kau hanya ingin hidup dalam fantasi dengan bermodal secuil harapan bahwa esok kan baik-baik saja. Kita mungkin lupa bahwa dalam merencanakan masa depan, menyediakan ruang kecewa adalah suatu kewajiban. Ruang itu dapat sesekali diisi atau bahkan dibiarkan kosong agar kita tidak jatuh terlalu dalam atau terlalu cengeng menangisi kehidupan.

Dokumentasi pribadi : Dufan, April 2019.

Barangkali tidak mencari tahu tentang sesuatu adalah cara terbaik untuk menjauhi gundah itu. Membiarkan semuanya berjalan begitu saja, tanpa ekspektasi, dan menganggap semua biasa saja. Kita hanya membuka ruang-ruang itu kelak jika suatu hari nanti dua puluh lembar catatan rencana masa depan itu berjalan tidak sesuai dengan kenyataan. Bagaimana bila, masa depan yang telah kita rencanakan akan menjadi sedemikian membosankan? Ia bagai hari ini, kemarin, dan lima tahun lalu yang hanya tertinggal di ingatan. Atau mungkin merencanakan masa depan lebih baik ketimbang hanya diam menunggu seperti sapi ternak yang menunggu waktu perah tiba? Bagaimana bila kita tidak lagi hidup dalam imaji? tidak ada lagi daftar harapan, yang tersisa hanya tenaga untuk sekadar saling sapa, bersitatap seadanya, diselingi makan dan tidur karena yakin semua akan baik-baik saja.

--

--

Hairtifailama
Hairtifailama

Written by Hairtifailama

Acts like a lady, thinks like a gentleman. Merawat kewarasan dengan sesekali menulis dan mengoceh.

No responses yet